Mengapa Kita Menguap ? Inilah Penjelasan Ilmiahnya

Mengapa Kita Menguap ? Inilah Penjelasan Ilmiahnya


Menguap merupakan sesuatu yang banyak ditemukan, baik di pertemuan kantor atau di ruang kelas. Banyak yang percaya bahwa menguap merupakan tanda ngantuk atau bosan; tetapi menguap sebenarnya merupakan tanda kasus lain. Selain itu, penelitian memberikan bukti lain bahwa mungkin ada fungsi baru dari menguap.

Aktivitas Signifikan Kemungkinan Akibat Evolusi

Banyak binatang menguap - mulai dari lalat hingga ular - dan dari monyet hingga ikan. Bahkan fetus manusia pun menguap. Menguap merupakan aktivitas yang sudah ada sejak zaman purbakala dan terus dipelajari selama evolusi, yang mengarahkan ke indikasi rasa kantuk.

Kemungkinan sirkuit otak yang mengontrol aktivitas menguap juga sudah ada sejak zaman dahulu, bagian primitif otak. Misalnya, menguap bisa ditemui bahkan pada pasien sklerosis lateral amiotrofi, penyakit neurodegeneratif yang memengaruhi kapasitas gerakan sadar.

Ini pertama kali ditemukan pada 1923, dimana diketahui bahwa pasien mengalami paralisis dari satu sisi bagian tubuhnya namun memiliki kontrol sementara dari fungsi motorik mereka saat menguap. Ahli neurologi Inggris Sir Francis Walshe melaporkan bahwa beberapa pasien menyadari "bahwa saat jari diekstensi dan digerakkan saat menguap, pasien bisa memfleksi dan mengekstensikan jari mereka dengan cepat, kondisi yang tidak bisa mereka lakukan di waktu lain. Tentu saja, beberapa orang menunggu saat-saat menguap sehingga mereka bisa melatih jari-jari mereka."

Apa efek dari menguap? Otot wajah akan diregangkan saat mulut terbuka. Kepala mendengak, dan mata meredup, dan bahkan berair. Saliva diproduksi, dan tuba Eustachius di telinga tengah terbuka, dan terjadi perhentian sementara dari pernapasaan setelah asupan udara yang cepat. Semua kejadian ini, dan perubahan kardiovaskular, neuromuskular, dan respirasi lain, terjadi dalam rentang waktu enam detik.




Jadi, Mengapa Kita Menguap ?

Seorang ahli neurosains Robert Povine, penulis Curious Behavior: Yawning, Laughing, Hiccupping, and Beyond mencatat, "Anda tidak memutuskan untuk menguap. Anda melakukannya begitu saja. Anda melakukan sesuai dengan yang sudah diprogram oleh sistem biologis tubuh." menguap merupakan sesuatu yang tidak bisa dikontrol dan tidak sadar dilakukan.

Yang mengejutkan, menguap memiliki kemiripan dengan efek lain yang dialami tubuh. Misalnya, terdapat kemiripan antara ekspresi manusia saat menguap dan orgasme.

Selain itu, hormon seks pria (androgen) dan oksitosin, 'hormon cinta', juga memainkan peran dalam memicu aktivitas menguap. Hubungan antara aktivitas seksual dan menguap juga diilustrasikan dalam efek samping antidepresan (misalnya clomipramin dan fluoxetin), yang keduanya bisa menurunkan libido dan menyebabkan beberapa orang mengalami orgasme secara spontan saat mereka menguap.

Menurut Provine, "Aktivitas menguap masih belum banyak dipahami." Pada 400 SM, Hipokrates membangun hipotesis yang menyatakan bahwa menguap mengeluarkan 'udara buruk' yang terakumulasi dalam tubuh kita, yang kemudian bisa membuat kita merasa sakit, seperti "sejumlah besar uap yang keluar saat air mendidih."

Provine juga menunjukkan bahwa rasa lelah dan bosan bukan satu-satunya kondisi yang menyebabkan seseorang menguap. Kecenderungan menguap semakin tinggi setelah bangun atau sudah mencapai waktu tidur seseorang. Aktivitas menguap juga meningkat saat seseorang lapar.

Dengan demikian, Provine percaya bahwa menguap bisa menjadi tanda transisi tubuh antara dua status fisiologis berbeda. "Anda menguap saat Anda tidak merasa bosan," ungkap Provine. "Atlet Olimpik terkadang menguap sebelum sebuah acara; seorang pemain biola mungkin menguap sebelum konser." Maka dari itu, menguap terkadang, tidak selalu, diikuti dengan meningkatnya aktivitas fisiologis: dari "tidur menjadi bangun, bangun menjadi tidur, gelisah menjadi tenang, bosan menjadi siaga."

Teori lain yang mendukung adalah teori termoregulatori - dimana menguap bisa menurunkan suhu otak saat terlalu panas. Meskipun demikian, teori ini tersendat dengan ketidakjelasan bagaimana teori ini bekerja - menguap, faktanya, mengganggu pernapasan hidung yang kemudian bisa mendinginkan otak.

Menguap Sebagai Bentuk Empati Sosial

Salah satu karakteristik utama menguap adalah sifat menularnya. Bahkan memikirkan mengenai menguap sendiri cukup untuk memicu seseorang untuk menguap - dalam satu dari penelitian Provine, 88% dari orang yang mengatakan berpikir mengenai menguap, akhirnya menguap dalam waktu 30 menit.

Diketahui bahwa sifat menular dari menguap merupakan bentuk dari menunjukkan empati, sebagaimana yang diteliti pada manusia dan simpanse. Menguap yang menular, tidak seperti menguap spontan, hanya ditunjukkan pada orang-orang berusia di atas lima tahun.

Untuk mendukung teori ini, peneliti menemukan bahwa semakin dekat seseorang dengan orang yang menguap, semakin besar kemungkinan ia menguap juga. Sifat menular ini lebih kuat di antara keluarga dibandingkan teman, dan lebih kuat pada orang-orang dengan ras yang sama dibandingkan ras berbeda. Pada penderita autisme dan skizoprenia, pengaruh sifat menular dari menguap juga diturunkan.

Meskipun demikian, penelitian menunjukkan tidak ada bukti yang mendukung teori empati; hanya ada korelasi antara usia dan kecenderungan penularan menguap, dimana orang yang lebih tua ditemukan lebih jarang terpengaruh dengan penularan menguap.

Meskipun tujuan dari menguap itu sendiri masih belum jelas, namun aktivitas ini bisa dianggap sebagai bentuk primitif dari komunikasi tanpa kata-kata. "Sering dikatakan bahwa sikap tidak meninggalkan jejak peninggalan," kata Provine.

"Tetapi, dengan menguap, berarti Anda menemukan jejak peninggalan dari sikap. Anda bisa mengetahui bagaimana sikap manusia di zaman purbakala."




Sumber : MIMS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Tren Perawatan Diri Ini Tidak Sehat Buat Vagina

Memahami Fenomena Deja vu